Mengenai pasal 28B ayat (1) uud 45, menteri Agama M. Maftuh Basyuni mengatakan bahwa poligami bukanlah maksud hak asasi manusia yang tercantum pada pasal 28 B ayat (1) UUD 1945. Pasal ini menyebutkan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Menurut Maftuh, hak asasi setiap orang yang diatur dalam pasal itu adalah kebutuhan untuk membentuk keluarga. Pandangan yang menganggap pasal 28 B menjamin poligami sebagai hak asasi manusia dinilai Maftuh sebagai pandangan yang keliru.
Pendapat tersebut disampaikan Maftuh saat tampil mewakili Pemerintah dalam sidang pengujian pasal-pasal mengenai poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi. Majelis hakim memberikan kesempatan kepada Pemerintah dan DPR untuk menanggapi permohonan yang diajukan oleh Maftuf.
Dijelaskan Maftuh, Pasal 28 B UUD 1945 tidak berbicara sama sekali mengenai poligami. Yang merupakan hak yang asasi adalah kebutuhan seseorang dalam membentuk keluarga, karena melalui keluarga (isteri atau suaminya) seseorang dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dan/atau dapat melanjutkan keturunannya. Sementara tanpa berpoligami pun seseorang mungkin masih dapat memenuhi haknya untuk melanjutkan keturunan.
Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas) Departemen Agama, Nasaruddin Umar menambahkan bahwa yang masuk kategori hak asasi manusia adalah kawin atau berkeluarga. Ketika seseorang sudah kawin berarti haknya sudah terpenuhi. Dalam memenuhi haknya, tandas Nasaruddin, seseorang tidak boleh melupakan dan melanggar hak asasi orang lain.
Pengamat masalah hak asasi manusia, yang baru dipilih DPR menjadi anggota Komnas HAM, Ifdhal Kasim memiliki pendapat serupa. Hak untuk membentuk keluarga hanya boleh digunakan sekali saja. Tidak bisa digunakan untuk berkali-kali, ujarnya.
Sementara itu, Wakil dari Komisi III DPR Nursyahbani Katjasungkana sependapat poligami bukan merupakan hak asasi. Menurut politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa ini, Pasal 28 B UUD 45 menyebutkan kata-kata membentuk keluarga dan perkawinan, bukan disebutkan berpoligami. Istilahnya saja sudah lain, ujarnya
M Insa, pemohon judicial review, menilai sudut Pemerintah dan DPR tersebut justeru bisa menyebabkan pelanggaran HAM kepada istri kedua karena dilarang untuk melanjutkan keturunan. Mereka (pemerintah dan DPR,-red) kan menyerang saya dalam persidangan karena saya sudah memiliki anak, ujarnya kepada hukumonline.
Direktur Sokratin Incorporated itu lebih menyoroti keberadaan poligami sebagai hak asasi dilihat dari sudut Pasal 28 E UUD 1945 yang menyebutkan kebebasan seseorang untuk memeluk agama dan beribadat. Menurut ajaran agama yang saya anut, perkawinan dianggap sebagai ibadah, ujarnya.
Sebaliknya, Nasaruddin Umar mengatakan tidak lazim dalam ajaran Islam menyebut poligami sebagai ibadah. Menurutnya, poligami dapat bernilai ibadah bila meniru Nabi Muhammad SAW yang berpoligami dalam rangka menolong janda-janda yang ditinggal mati oleh suaminya dalam peperangan.
Bahkan, kata Prof. Nasaruddin, poligami dapat bernilai maksiat dan bahkan haram hukumnya dalam agama, apabila dalam berpoligami suami tidak dapat berlaku adil dan cenderung kepada salah satu isterinya atau menyakiti jiwa maupun raga istrinya.
Menafsirkan secara utuh
Ifdhal Kasim menyatakan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang mengatur mengenai hak-hak yang asasi tidak mengatur secara rinci karena hanya mengatur hal-hal yang dasar saja. Dalam UDHR, diatur bahwa tiap orang berhak membentuk rumah tangga tetapi tidak mengatur seseorang boleh berpoligami. Sehingga dapat ditafsirkan secara luas, ujarnya.
Ifdal meminta dalam menafsirkan konvensi-konvensi HAM harus secara utuh. HAM itu harus dilihat sebagai satu rezim, jadi semua konvensi merupakan satu kaitan, ujarnya. Dengan demikian UDHR terkait konvensi lain, khususnya yang mengatur mengenai hak perempuan. Melalui konvensi-konvensi yang lainlah pengaturan secara rinci hak-hak dasar yang tidak ditemukan dalam UDHR dapat terlihat. Pendapat Ifdhal ini dikuatkan Nursyahbani Katjasungkana.
Nursyahbani mengingatkan Indonesia telah meratifikasi Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women melalui UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Menurut Dewan Pembina LBH APIK ini, bila kita konsekuen dengan UU ini, seharusnya poligami tidak dapat diberlakukan sehingga terwujud apa yang disebutnya sebagai Free Poligami Society di Indonesia. Namun ia menyadari ketentuan UU Perkawinan yang mengatur Poligami sudah sesuai dengan kepentingan masyarakat dan keadilan bagi perempuan.
Selasa, 23 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar