Pasal 28 I
(5) Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.
Sesuai Pasal 28I ayat (5), dibentuklah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, perbuatan seorang atau kelompok, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak asasi manusia, baik seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undang-undang dimaksud akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pelanggaran hak asasi yang demikian, disebut pelanggaran hak asasi yang ringan. Lain halnya pelanggaran hak asasi yang berat, seperti pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematik. Berdasarkan hal tersebut, dibentuklah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, atau mediasi hak asasi manusia. Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Demikian juga untuk tujuan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Adapun ruang lingkup hak asasi manusia, sebagaimana disebutkan Zainuddin Ali, adalah sebagai berikut:
1) setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.
2) setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.
3) setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
4) setiap orang tidak boleh diganggu yang merupakan hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi di dalam tempat kediamannya.
5) setiap orang berhak atas kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan undang-undang.
6) setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, penghilangan paksa, dan penghilangan nyawa.
7) setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
8) setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pengertian dan ruang lingkup hak asasi manusia tersebut, dapat dipahami bahwa di negara Republik Indonesia yang berdasar atas hukum, amat menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Di dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 halaman enam belas, diungkapkan bahwa peningkatan pemahaman dan penyadaran, serta peningkatan perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan, dan penyelesaian berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.
Salah satu hak yang diatur UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia adalah mengenai hak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif. Dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Hak Asasi Manusia (HAM), yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia, harus menjadi akar dari negara, menghormati perbedaan, menerima keanekaragaman, menerima hubungan, serta menghargai hubungan gender. Kondisi yang diperlukan adalah negara harus konsisten terhadap konstitusi, hak-hak dasar, persamaan lelaki dan perempuan, persamaan antara muslim dan non-muslim.
Penegakan hak asasi manusia ini merupakan hal penting bagi negara Indonesia. Oleh karena itu, selain dimuat dalam UUD’45 dan dijabarkan melalui UU. No. 39 Tahun 1999, juga dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Keseriusan pemerintah menegakkan HAM ini juga dapat diperhatikan dengan adanya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM ini merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Kedudukan Pengadilan HAM ini berada di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Ruang lingkup kewenangan pengadilan Ham, menurut UU No. 26 Tahun 2000 pasal 4-6, yaitu: Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat; Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia; dan Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Indonesia juga harus senantiasa mencerminkan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dengan kata lain tidak boleh bertentangan dengan HAM sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi (UUD 1945), karena HAM ialah hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Konstitusi (UUD 1945) telah memberikan pengaturan tentang HAM sebagai berikut:
a. Personal Right (pasal 28 dan pasal 29)
b. Property Right (pasal 33)
c. Right of Legal Equality (pasal 27 ayat 1)
d. Political Right (pasal 27 ayat 1 dan pasal 28)
e. Sosial and Culture Right (pasal 31, pasal 32, pasal 34)
f. Procedural Right (pasal 27 ayat 1)
Amandemen kedua UUD 1945 telah memberikan perubahan terhadap pengaturan HAM di Indonesia. Kalau sebelum amandemen kedua pengaturan HAM dalam UUD 1945 diatur secara terpisah, namun pasca amandemen kedua, UUD 1945 telah mengatur HAM secara lebih sistematis dalam satu bab, yaitu di dalam pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945. Pasal tersebut telah menjadi landasan konstitusional bagi perlindungan HAM di Indonesia.
Pengertian HAM seperti yang dikemukakan oleh Jan Matersondari (komisi hak asasi manusia PBB), dalam Ari Wibowo (2008:3), ialah hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Menurut Burhanuddin Lopa, dalam Ari Wibowo (2008:3), pada kalimat “mustahil dapat hidup sebagai manusia” hendaklah diartikan “mustahil dapat hidup sebagai manusia yang bertanggung jawab”. Alasan ditambahkan kata “tanggung jawab” tersebut ialah disamping manusia memiliki hak, juga memiliki tanggung jawab atas segala yang dilakukannya.
Dalam alinea kedua dari Declaration of Independence of the united state of America yang dideklarasikan oleh The Representative of The United State of America dalam general kongres assembly pada tanggal 4 Juli 1776 tertulis antara lain sebagai berikut (Ari Wibowo, 2008:4):
“We hold these truths to be self-evident, that all men are created equel; that there are endowed by their creater with certain unalianable rights; that among these are life, liberty ang the pursuit of happiness”
Kalau kita menyimak kutipan di atas, di antara berbagai hak-hak dasar atau hak asasi manusia diantaranya yang disebut secara tegas yakni persamaan hak, hak hidup, hak kebebasan dan hak mengejar atau mencari kebahagiaan.
Macam-macam HAM menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 antara lain:
a. Hak untuk hidup
b. Hak mengembangkan diri
c. Hak memperoleh keadilan
d. Hak atas kebebasan pribadi
e. Hak atas rasa aman
f. Hak atas kesejahteraan
g. Hak urut serta dalam pemerintahan
Franklin D. Rosevelt, dalam Ari Wibowo (2008:4), pada permulaan perang dunia II merumuskan adanya empat hak, yaitu:
a. Freedom of speech (Kebebasan untuk berbicara dan mengemukaan pendapat)
b. Freedom of Religion (Kebebasan beragama)
c. Fredom of Fear (Kebebasan dari ketakutan)
d. Freedom of Want (Kebebasan dari kemelaratan)
Kemudian pada tahun 1946, Commition on Human Right (PBB) menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial, disamping hak-hak politik. Penetapan ini dilanjutkan pada tahun 1948 dengan disusun pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Right) pada tanggal 10 Desember 1948.
Dalam diskursus penegakkan HAM Internasional, ada konvensi internasional tentang HAM yang menjadi panutan negara di dunia, yaitu International Convenant on Civil and Political Right-ICCPR (Perjanjian Internasional tentang Hak Hak Sipil dan Politik) dan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Right-ICESCR (Konvenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. ICCPR telah diratifikasi oleh Indonesia dan dituangkan dalam Undang Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Right, dan ICESCR juga telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Right.
Konsep hak asasi manusia ini, menurut Ari Wibowo (2008:5) memiliki dua dimensi (dimensi ganda), yaitu:
1) Dimensi universalitas, yakni substansi hak-hak asasi manusia itu pada hakekatnya bersifat umum dan tidak terikat oleh waktu dan tempat. Hak asasi manusia akan selalu dibutuhkan oleh siapa saja dan dalam aspek kebudayaan dimana pun itu berada, entah itu dalam kebudayaan barat maupun timur. Dimensi hak asasi manusia seperti ini pada hakekatnya akan selalu dibutuhkan dan menjadi sarana bagi individu untuk mengekspresikan secara bebas dalam ikatan kehidupan kemasyarakatan. Dengan kata lain hak asasi itu ada karena yang memiliki hak-hak itu adalah manusia sebagai manusia.
2) Dimensi kontekstualitas, yakni menyangkut penerapan hak asasi manusia bila ditinjau dari tempat berlakunya hak-hak asasi manusia tersebut. Maksudnya adalah ide-ide hak asasi manusia dapat diterapkan secara efektif, sepanjang “tempat” ide-ide hak asasi manusia itu memberikan suasana kondusif untuk itu. Dengan kata lain ide-ide hak asasi manusia akan dapat dipergunakan secara efektif dan menjadi landasan etik dalam pergaulan manusia, jikalau struktur kehidupan masyarakat entah itu di barat ataupun di timur sudah tidak memberikan tempat bagi terjaminnya hak individu yang ada di dalamnya.
Dua dimensi inilah yang memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan ide-ide hak asasi manusia di dalam komunitas kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh sebab itu dengan adanya dua dimensi ini, maka perdebatan mengenai pelaksanaan ide-ide hak asasi manusia yang diletakkan dalam konteks budaya, suku, ras maupun agama sudah tidak mempunyai tempat lagi atau tidak relevan dengan wacana publik masyarakat modern.
(5) Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.
Sesuai Pasal 28I ayat (5), dibentuklah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, perbuatan seorang atau kelompok, termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak asasi manusia, baik seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undang-undang dimaksud akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pelanggaran hak asasi yang demikian, disebut pelanggaran hak asasi yang ringan. Lain halnya pelanggaran hak asasi yang berat, seperti pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematik. Berdasarkan hal tersebut, dibentuklah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, atau mediasi hak asasi manusia. Pembentukan lembaga ini bertujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Demikian juga untuk tujuan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Adapun ruang lingkup hak asasi manusia, sebagaimana disebutkan Zainuddin Ali (2006:91-92), adalah sebagai berikut:
1) setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.
2) setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.
3) setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
4) setiap orang tidak boleh diganggu yang merupakan hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi di dalam tempat kediamannya.
5) setiap orang berhak atas kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan undang-undang.
6) setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, penghilangan paksa, dan penghilangan nyawa.
7) setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
8) setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pengertian dan ruang lingkup hak asasi manusia tersebut, dapat dipahami bahwa di negara Republik Indonesia yang berdasar atas hukum, amat menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Di dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 halaman enam belas, diungkapkan bahwa peningkatan pemahaman dan penyadaran, serta peningkatan perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan, dan penyelesaian berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.
Salah satu hak yang diatur UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia adalah mengenai hak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif. Dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Hak Asasi Manusia (HAM), yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia, harus menjadi akar dari negara, menghormati perbedaan, menerima keanekaragaman, menerima hubungan, serta menghargai hubungan gender. Kondisi yang diperlukan adalah negara harus konsisten terhadap konstitusi, hak-hak dasar, persamaan lelaki dan perempuan, persamaan antara muslim dan non-muslim.
Penegakan hak asasi manusia ini merupakan hal penting bagi negara Indonesia. Oleh karena itu, selain dimuat dalam UUD’45 dan dijabarkan melalui UU. No. 39 Tahun 1999, juga dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Keseriusan pemerintah menegakkan HAM ini juga dapat diperhatikan dengan adanya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM ini merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Kedudukan Pengadilan HAM ini berada di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Ruang lingkup kewenangan pengadilan Ham, menurut UU No. 26 Tahun 2000 pasal 4-6, yaitu: Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat; Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia; dan Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Indonesia juga harus senantiasa mencerminkan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dengan kata lain tidak boleh bertentangan dengan HAM sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi (UUD 1945), karena HAM ialah hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Konstitusi (UUD 1945) telah memberikan pengaturan tentang HAM sebagai berikut:
a. Personal Right (pasal 28 dan pasal 29)
b. Property Right (pasal 33)
c. Right of Legal Equality (pasal 27 ayat 1)
d. Political Right (pasal 27 ayat 1 dan pasal 28)
e. Sosial and Culture Right (pasal 31, pasal 32, pasal 34)
f. Procedural Right (pasal 27 ayat 1)
Amandemen kedua UUD 1945 telah memberikan perubahan terhadap pengaturan HAM di Indonesia. Kalau sebelum amandemen kedua pengaturan HAM dalam UUD 1945 diatur secara terpisah, namun pasca amandemen kedua, UUD 1945 telah mengatur HAM secara lebih sistematis dalam satu bab, yaitu di dalam pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD 1945. Pasal tersebut telah menjadi landasan konstitusional bagi perlindungan HAM di Indonesia.
Pengertian HAM seperti yang dikemukakan oleh Jan Matersondari (komisi hak asasi manusia PBB), dalam Ari Wibowo (2008:3), ialah hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Menurut Burhanuddin Lopa, dalam Ari Wibowo (2008:3), pada kalimat “mustahil dapat hidup sebagai manusia” hendaklah diartikan “mustahil dapat hidup sebagai manusia yang bertanggung jawab”. Alasan ditambahkan kata “tanggung jawab” tersebut ialah disamping manusia memiliki hak, juga memiliki tanggung jawab atas segala yang dilakukannya.
Dalam alinea kedua dari Declaration of Independence of the united state of America yang dideklarasikan oleh The Representative of The United State of America dalam general kongres assembly pada tanggal 4 Juli 1776 tertulis antara lain sebagai berikut (Ari Wibowo, 2008:4):
“We hold these truths to be self-evident, that all men are created equel; that there are endowed by their creater with certain unalianable rights; that among these are life, liberty ang the pursuit of happiness”
Kalau kita menyimak kutipan di atas, di antara berbagai hak-hak dasar atau hak asasi manusia diantaranya yang disebut secara tegas yakni persamaan hak, hak hidup, hak kebebasan dan hak mengejar atau mencari kebahagiaan.
Macam-macam HAM menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 antara lain:
a. Hak untuk hidup
b. Hak mengembangkan diri
c. Hak memperoleh keadilan
d. Hak atas kebebasan pribadi
e. Hak atas rasa aman
f. Hak atas kesejahteraan
g. Hak urut serta dalam pemerintahan
Franklin D. Rosevelt, dalam Ari Wibowo (2008:4), pada permulaan perang dunia II merumuskan adanya empat hak, yaitu:
a. Freedom of speech (Kebebasan untuk berbicara dan mengemukaan pendapat)
b. Freedom of Religion (Kebebasan beragama)
c. Fredom of Fear (Kebebasan dari ketakutan)
d. Freedom of Want (Kebebasan dari kemelaratan)
Kemudian pada tahun 1946, Commition on Human Right (PBB) menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial, disamping hak-hak politik. Penetapan ini dilanjutkan pada tahun 1948 dengan disusun pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Right) pada tanggal 10 Desember 1948.
Dalam diskursus penegakkan HAM Internasional, ada konvensi internasional tentang HAM yang menjadi panutan negara di dunia, yaitu International Convenant on Civil and Political Right-ICCPR (Perjanjian Internasional tentang Hak Hak Sipil dan Politik) dan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Right-ICESCR (Konvenan Internasional tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. ICCPR telah diratifikasi oleh Indonesia dan dituangkan dalam Undang Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Right, dan ICESCR juga telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social, and Cultural Right.
Konsep hak asasi manusia ini, menurut Ari Wibowo (2008:5) memiliki dua dimensi (dimensi ganda), yaitu:
1) Dimensi universalitas, yakni substansi hak-hak asasi manusia itu pada hakekatnya bersifat umum dan tidak terikat oleh waktu dan tempat. Hak asasi manusia akan selalu dibutuhkan oleh siapa saja dan dalam aspek kebudayaan dimana pun itu berada, entah itu dalam kebudayaan barat maupun timur. Dimensi hak asasi manusia seperti ini pada hakekatnya akan selalu dibutuhkan dan menjadi sarana bagi individu untuk mengekspresikan secara bebas dalam ikatan kehidupan kemasyarakatan. Dengan kata lain hak asasi itu ada karena yang memiliki hak-hak itu adalah manusia sebagai manusia.
2) Dimensi kontekstualitas, yakni menyangkut penerapan hak asasi manusia bila ditinjau dari tempat berlakunya hak-hak asasi manusia tersebut. Maksudnya adalah ide-ide hak asasi manusia dapat diterapkan secara efektif, sepanjang “tempat” ide-ide hak asasi manusia itu memberikan suasana kondusif untuk itu. Dengan kata lain ide-ide hak asasi manusia akan dapat dipergunakan secara efektif dan menjadi landasan etik dalam pergaulan manusia, jikalau struktur kehidupan masyarakat entah itu di barat ataupun di timur sudah tidak memberikan tempat bagi terjaminnya hak individu yang ada di dalamnya.
Dua dimensi inilah yang memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan ide-ide hak asasi manusia di dalam komunitas kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh sebab itu dengan adanya dua dimensi ini, maka perdebatan mengenai pelaksanaan ide-ide hak asasi manusia yang diletakkan dalam konteks budaya, suku, ras maupun agama sudah tidak mempunyai tempat lagi atau tidak relevan dengan wacana publik masyarakat modern.
Selasa, 23 Februari 2010
PASAL 28 B ayat 1
Mengenai pasal 28B ayat (1) uud 45, menteri Agama M. Maftuh Basyuni mengatakan bahwa poligami bukanlah maksud hak asasi manusia yang tercantum pada pasal 28 B ayat (1) UUD 1945. Pasal ini menyebutkan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Menurut Maftuh, hak asasi setiap orang yang diatur dalam pasal itu adalah kebutuhan untuk membentuk keluarga. Pandangan yang menganggap pasal 28 B menjamin poligami sebagai hak asasi manusia dinilai Maftuh sebagai pandangan yang keliru.
Pendapat tersebut disampaikan Maftuh saat tampil mewakili Pemerintah dalam sidang pengujian pasal-pasal mengenai poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi. Majelis hakim memberikan kesempatan kepada Pemerintah dan DPR untuk menanggapi permohonan yang diajukan oleh Maftuf.
Dijelaskan Maftuh, Pasal 28 B UUD 1945 tidak berbicara sama sekali mengenai poligami. Yang merupakan hak yang asasi adalah kebutuhan seseorang dalam membentuk keluarga, karena melalui keluarga (isteri atau suaminya) seseorang dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dan/atau dapat melanjutkan keturunannya. Sementara tanpa berpoligami pun seseorang mungkin masih dapat memenuhi haknya untuk melanjutkan keturunan.
Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas) Departemen Agama, Nasaruddin Umar menambahkan bahwa yang masuk kategori hak asasi manusia adalah kawin atau berkeluarga. Ketika seseorang sudah kawin berarti haknya sudah terpenuhi. Dalam memenuhi haknya, tandas Nasaruddin, seseorang tidak boleh melupakan dan melanggar hak asasi orang lain.
Pengamat masalah hak asasi manusia, yang baru dipilih DPR menjadi anggota Komnas HAM, Ifdhal Kasim memiliki pendapat serupa. Hak untuk membentuk keluarga hanya boleh digunakan sekali saja. Tidak bisa digunakan untuk berkali-kali, ujarnya.
Sementara itu, Wakil dari Komisi III DPR Nursyahbani Katjasungkana sependapat poligami bukan merupakan hak asasi. Menurut politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa ini, Pasal 28 B UUD 45 menyebutkan kata-kata membentuk keluarga dan perkawinan, bukan disebutkan berpoligami. Istilahnya saja sudah lain, ujarnya
M Insa, pemohon judicial review, menilai sudut Pemerintah dan DPR tersebut justeru bisa menyebabkan pelanggaran HAM kepada istri kedua karena dilarang untuk melanjutkan keturunan. Mereka (pemerintah dan DPR,-red) kan menyerang saya dalam persidangan karena saya sudah memiliki anak, ujarnya kepada hukumonline.
Direktur Sokratin Incorporated itu lebih menyoroti keberadaan poligami sebagai hak asasi dilihat dari sudut Pasal 28 E UUD 1945 yang menyebutkan kebebasan seseorang untuk memeluk agama dan beribadat. Menurut ajaran agama yang saya anut, perkawinan dianggap sebagai ibadah, ujarnya.
Sebaliknya, Nasaruddin Umar mengatakan tidak lazim dalam ajaran Islam menyebut poligami sebagai ibadah. Menurutnya, poligami dapat bernilai ibadah bila meniru Nabi Muhammad SAW yang berpoligami dalam rangka menolong janda-janda yang ditinggal mati oleh suaminya dalam peperangan.
Bahkan, kata Prof. Nasaruddin, poligami dapat bernilai maksiat dan bahkan haram hukumnya dalam agama, apabila dalam berpoligami suami tidak dapat berlaku adil dan cenderung kepada salah satu isterinya atau menyakiti jiwa maupun raga istrinya.
Menafsirkan secara utuh
Ifdhal Kasim menyatakan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang mengatur mengenai hak-hak yang asasi tidak mengatur secara rinci karena hanya mengatur hal-hal yang dasar saja. Dalam UDHR, diatur bahwa tiap orang berhak membentuk rumah tangga tetapi tidak mengatur seseorang boleh berpoligami. Sehingga dapat ditafsirkan secara luas, ujarnya.
Ifdal meminta dalam menafsirkan konvensi-konvensi HAM harus secara utuh. HAM itu harus dilihat sebagai satu rezim, jadi semua konvensi merupakan satu kaitan, ujarnya. Dengan demikian UDHR terkait konvensi lain, khususnya yang mengatur mengenai hak perempuan. Melalui konvensi-konvensi yang lainlah pengaturan secara rinci hak-hak dasar yang tidak ditemukan dalam UDHR dapat terlihat. Pendapat Ifdhal ini dikuatkan Nursyahbani Katjasungkana.
Nursyahbani mengingatkan Indonesia telah meratifikasi Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women melalui UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Menurut Dewan Pembina LBH APIK ini, bila kita konsekuen dengan UU ini, seharusnya poligami tidak dapat diberlakukan sehingga terwujud apa yang disebutnya sebagai Free Poligami Society di Indonesia. Namun ia menyadari ketentuan UU Perkawinan yang mengatur Poligami sudah sesuai dengan kepentingan masyarakat dan keadilan bagi perempuan.
Pendapat tersebut disampaikan Maftuh saat tampil mewakili Pemerintah dalam sidang pengujian pasal-pasal mengenai poligami dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi. Majelis hakim memberikan kesempatan kepada Pemerintah dan DPR untuk menanggapi permohonan yang diajukan oleh Maftuf.
Dijelaskan Maftuh, Pasal 28 B UUD 1945 tidak berbicara sama sekali mengenai poligami. Yang merupakan hak yang asasi adalah kebutuhan seseorang dalam membentuk keluarga, karena melalui keluarga (isteri atau suaminya) seseorang dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dan/atau dapat melanjutkan keturunannya. Sementara tanpa berpoligami pun seseorang mungkin masih dapat memenuhi haknya untuk melanjutkan keturunan.
Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas) Departemen Agama, Nasaruddin Umar menambahkan bahwa yang masuk kategori hak asasi manusia adalah kawin atau berkeluarga. Ketika seseorang sudah kawin berarti haknya sudah terpenuhi. Dalam memenuhi haknya, tandas Nasaruddin, seseorang tidak boleh melupakan dan melanggar hak asasi orang lain.
Pengamat masalah hak asasi manusia, yang baru dipilih DPR menjadi anggota Komnas HAM, Ifdhal Kasim memiliki pendapat serupa. Hak untuk membentuk keluarga hanya boleh digunakan sekali saja. Tidak bisa digunakan untuk berkali-kali, ujarnya.
Sementara itu, Wakil dari Komisi III DPR Nursyahbani Katjasungkana sependapat poligami bukan merupakan hak asasi. Menurut politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa ini, Pasal 28 B UUD 45 menyebutkan kata-kata membentuk keluarga dan perkawinan, bukan disebutkan berpoligami. Istilahnya saja sudah lain, ujarnya
M Insa, pemohon judicial review, menilai sudut Pemerintah dan DPR tersebut justeru bisa menyebabkan pelanggaran HAM kepada istri kedua karena dilarang untuk melanjutkan keturunan. Mereka (pemerintah dan DPR,-red) kan menyerang saya dalam persidangan karena saya sudah memiliki anak, ujarnya kepada hukumonline.
Direktur Sokratin Incorporated itu lebih menyoroti keberadaan poligami sebagai hak asasi dilihat dari sudut Pasal 28 E UUD 1945 yang menyebutkan kebebasan seseorang untuk memeluk agama dan beribadat. Menurut ajaran agama yang saya anut, perkawinan dianggap sebagai ibadah, ujarnya.
Sebaliknya, Nasaruddin Umar mengatakan tidak lazim dalam ajaran Islam menyebut poligami sebagai ibadah. Menurutnya, poligami dapat bernilai ibadah bila meniru Nabi Muhammad SAW yang berpoligami dalam rangka menolong janda-janda yang ditinggal mati oleh suaminya dalam peperangan.
Bahkan, kata Prof. Nasaruddin, poligami dapat bernilai maksiat dan bahkan haram hukumnya dalam agama, apabila dalam berpoligami suami tidak dapat berlaku adil dan cenderung kepada salah satu isterinya atau menyakiti jiwa maupun raga istrinya.
Menafsirkan secara utuh
Ifdhal Kasim menyatakan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang mengatur mengenai hak-hak yang asasi tidak mengatur secara rinci karena hanya mengatur hal-hal yang dasar saja. Dalam UDHR, diatur bahwa tiap orang berhak membentuk rumah tangga tetapi tidak mengatur seseorang boleh berpoligami. Sehingga dapat ditafsirkan secara luas, ujarnya.
Ifdal meminta dalam menafsirkan konvensi-konvensi HAM harus secara utuh. HAM itu harus dilihat sebagai satu rezim, jadi semua konvensi merupakan satu kaitan, ujarnya. Dengan demikian UDHR terkait konvensi lain, khususnya yang mengatur mengenai hak perempuan. Melalui konvensi-konvensi yang lainlah pengaturan secara rinci hak-hak dasar yang tidak ditemukan dalam UDHR dapat terlihat. Pendapat Ifdhal ini dikuatkan Nursyahbani Katjasungkana.
Nursyahbani mengingatkan Indonesia telah meratifikasi Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women melalui UU No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Menurut Dewan Pembina LBH APIK ini, bila kita konsekuen dengan UU ini, seharusnya poligami tidak dapat diberlakukan sehingga terwujud apa yang disebutnya sebagai Free Poligami Society di Indonesia. Namun ia menyadari ketentuan UU Perkawinan yang mengatur Poligami sudah sesuai dengan kepentingan masyarakat dan keadilan bagi perempuan.
Senin, 22 Februari 2010
Ga Ngerti Sama Sikap Ade
Berawal waktu dai duduk di bangku SMP, Awalnya si ngelawan sama ortu cuma dari mulut gitu aja, tapi ga tau kenapa mulai sekarang ngelunjak. Bingung dari faktor apa yang bisa membuat dia berubah kaya gini. di omongin cara bae-bae tapi ngelunjak. pernah juga pake kekerasan malahan dia yang lebih kasar. ampe ortu sedih dan mengeluarkan air mata. Ga ngerti kenapa dia bisa bersikap setega itu sama ortu. padahal faktor pergaulan dia dirumah biasa aja. tapi kalo saya selidiki semenjak dia kenal sosok seseorang yang dia sayang. herannya seseorang yang saya juga mengenalnya dia mempunyai ke pribadian yang cukup baik. maka dari itu saya tak pernah melarang dia untuk mendekati seseorang itu. saya pikir ade ku disa berubah setelah bersamanya tapi itu semua sia-sia dan dia semakin susah di atur dan kata-kata yang dikeluarkan udah ga sewajarnya di keluarkan oleh seorang pelajar.
"GA NGERTI MAU GIMANA LAGI"
"GA NGERTI MAU GIMANA LAGI"
Langganan:
Postingan (Atom)